Thursday, March 12, 2009

Tidak Jujur itu Melelahkan

Peribahasa biasanya membersihkan nilai-nilai luhur yang dihayati oleh masyarakat penuturnya. Paling tidak dalam sebuah peribahasa terkandung pesan kebaikan atau peringatan bagi manusia, agar tidak terpuruk dalam kenestapaan atau celaka. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu tanda tingkat penghayatan atau tataran internalisasi suatu nilai tertentu.

Pada perspektif ini kita bisa mengukur sejauh mana kira-kira penghayatan nilai kejujuran di tengah masyarakat, lewat peninjauan khasanah peribahasa. Sayang, buku-buku tentang peribahasa di negeri ini tidak lah cukup banyak.

Di tengah semangat menjunjung nilai kejujuran sebagai suatu keutamaan yang sangat penting untuk mewujudkan relasi antar insan yang harmonis, mari kita menelusuri keberadaan kata jujur atau kejujuran di tengah khasanah peribahasa Indonesia. Dalam hal ini mari kita ajukan suatu contoh menarik melalui Matematika Buku. Ternyata, setidaknya dalam kedua buku penting yang masing-masing memiliki ketebalan 544 halaman dan 379 halam itu, kita tidak menemukan peribahasa Indonesia yang mengandung kata “jujur” atau “kejujuran”. Sayang sekali. Jangan-jangan memang kondisi ini mencerminkan betapa kejujuran secara riil tidak terlalu diperhitungkan di tengah kehidupan sehari-hari. Yang menjadi pertanyaan, apakah itu bisa diartikan bahwa kita tidak lagi menjunjung kejujuran sebagai suatu nilai luhur yang penting? Apakah kita tidak lagi menyadari arti dan peran penting nilai kejujuran untuk perwujudan dan pemeliharaan relasi antar manusia yang harmonis?

Kekhawatiran tentang rapuhnya penghayatan nilai kejujuran di tengah masyarakat kita, agaknya memang sulit disangkal. Barangkali kalau mau jujur, setiap warga negara Indonesia akan mengakui bahwa masyarakat dan lembaga-lembaga di tengah negara ini masih mengidap “penyakit sosial”.

Dengan kata lain, sesungguhnya sekarang ini kita sedang menyaksikan peragaan perilaku tidakjujur yang tanpa disadari diperagakan oleh para tokoh dan warga bangsa ini. Bahkan perilaku ini tampak sebegitu mencolok mata.

Ironisnya,pada saat yang sama juga tersiar berbagai komentar tokoh maupun “pakar”, yang kecewa justru terhadap berbagai pernyataan yang betul-betul mencerminkan kejujuran. Tanpa mengecilkan arti pengamatan para “pakar” itu, pada perspektif ini justru dimungkinkan untuk menafsirkan kejujuran sebagai tindakan ngawur atau cerminaan ketidakmampuan mengendalikan omongan. Bahkan bisa diartikan semacam “kebodohan” atau ignorantia. Ketika seorang tokoh yang jujur mengatakan pendapatnya dengan jujur bahwa dia akan mencari hakim bersih yang tidak bisa dibeli, berbagai tokoh masyarakat dan “pakar” justru mengomentari pernyataan jujur itu dengan berbagai “argumen ilmiah”, yang padapokoknya mengatakan bahwa orang itu bicara ngawur.

Mungkin ada benarnya. Setiap tokoh masyarakat yang menjadi panutan publik seharusnya bisa mengendalikan omongannya secara arif. Wajarlah kalau para pakar hukum selalu menginginkan setiap pernyataan bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. Mungkin komentar mereka bisa dianggap sebagai kritik konstruktif atau tegur sapa yang penuh kasih. Namun, jika kritik hanya berhenti di situ, lalu substansi ketidakadilan dan ketidakjujuran sebagian hakim di negeri ini tidak dibahas dan dibenahi dengan langkah konkret, kritik yang sesungguhnya baik itu malah bisa dianggap mengecilkan arti kejujuran sebagai sebuah nilai yang harus dijunjung tinggi. Padahal kendati tidak bisa menyodorkan bukti formal secara hukum, sesungguhnya masyarakat luas secara intuitif mampu mengendus adanya realitas ketidakjujuran sebagian hakim di negeri ini.

Bagaimana pun, kejujuran perlu diapresiasikan sebagai nilai luhur yang harus dijunjung tinggi dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kalau dilihat pada perspektif dinamika jiwani, ketidak jujuran sangat mahal harganya. Setiap ketidakjujuran niscaya ditanggung oleh eneri jiwani, yang harus dicurahkan oleh manusia penyandang ketidakjujuran itu untuk merepresikan (menekan secara paksa) materi ketidakjujuran itu ke dalam khasanah mental bawah sadar. Dengan perilaku itu ia akan sangat kelelahan, karena energi psikisnya terkuras hanya untuk melakukan represi secara berulang-ulang. Dalam kondisi kelelahan itu, ia tidak lagi punya cukup energi untuk melakukan kebaikan serta mewujudnyatakan kebenaran. Krena perwujudan kebaikan dan kebenaran memang selalu memerlukan penggunaan energi psikis yang besar.

No comments:

Post a Comment